LAPORAN
PRAKTIKUM
APLIKASI PERUBAHAN KIMIA PANGAN
PENCOKLATAN BUAH BEKU
KELOMPOK III
RIZKA AULIA SAFARNI (G31112007)
TRY
PERMATA SIADE (G31112101)
ERNAWATI
BINTI MUSTAMAR (G31112005)
SAIFULLAH
MASDAR (G31112268)
AINUN
MADLIYAH SAWEDI (G31112002)
ASISTEN :
NUR AZIZAH AMIN
LABORATORIUM KIMIA ANALISA DAN
PENGAWASAN MUTU PANGAN
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI
PANGAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat kita
mengupas buah dan membiarkannya beberapa saat, maka kita akan melihat permukaan
buah tersebut akan mengalami perubahan warna menjadi agak kecoklatan. Hal itu
sering disebut sebagai proses pencoklatan. Perubahan warna menjadi kecoklatan
ini sering kita jumpai pada buah apel, pisang, salak dan lain-lain.
Berubahnya permukaan buah menjadi
kecoklatan dipicu oleh adanya aktivitas enzim yang terjadi pada saat kita
mengupas buah. Ada dua enzim yang berperan dalam proses pencoklatan ini, yaitu
enzim Poliphenol Oxidase atau enzim fenol oxidase. Kedua enzim inilah yang
mampu mengoksidasi senyawa fenol.
Proses
pencoklatan ini tidak hanya terjadi pada buah saja melainkan juga terjadi pada
produk olahan pangan. Seperti roti, makanan ringan, daging panggang, dan
lain-lain. Pencoklatan pada produk olahan ini disebut pencoklatan non
enzimatis. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan praktikum untuk
mengetahui ada tidaknya pengaruh pencoklatan dan metode-metode penghambatan
pada buah beku.
B. Tujuan Praktikum
Tujuan yang ingin dicapai dari
praktikum ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengaruh pencoklatan yang terjadi pada buah terhadap kandungan gizi
dan mutu pada buah beku.
2.
Untuk mengetahui efek dari beberapa metode penghambatan pencoklatan pada buah beku.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
A. Apel
Apel adalah
buah yang digemari oleh banyak orang. Terdapat beberapa jenis apel, seperti:
Apel Granny Smith,
Apel Fuji dan Apel Malang. Tiap jenis apel memiliki rasa yang khas, tetapi ada
satu kesamaan dari semua apel, yaitu perubahan warna menjadi kecokelatan ketika
apel dipotong atau dikupas. Perubahan warna ini dapat disertai dengan perubahan
rasa pada apel yang mengurangi kelezatan buah tersebut. Banyak orang yang tidak
mengetahui alasan dibalik perubahan warna pada apel. Sesungguhnya, perubahan
warna dari apel tersebut melibatkan reaksi kimia yang disebut proses
pencokelatan (Henie, 2013).
Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari
daerah Asia Barat yang beriklim subtropis. Apel telah ditanam di Indonesia
sejak
tahun 1934 hingga sekarang. Secara taksonomi, apel tergolong dalam divisi spermatophyta dari famili rocaceae. Berikut klasifikasi apel berdasarkan Anonim (2011) yaitu:
tahun 1934 hingga sekarang. Secara taksonomi, apel tergolong dalam divisi spermatophyta dari famili rocaceae. Berikut klasifikasi apel berdasarkan Anonim (2011) yaitu:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub
Kelas : Rosidae
Ordo : Rosales
Famili : Rosaceae (suku mawar-mawaran)
Genus
: Pyrus
Spesies
: Pyrus malus L.
Kandungan
gizi di dalam buah apel menurut Prasko (2011) adalah sebagai berikut:
Tabel 01. Kandungan dalam 100 gram
buah apel
KANDUNGAN
|
JUMLAH KANDUNGAN
|
Energi yang dikandung
|
207 kJ/Kcal
|
Air
|
84 %
|
Serat
|
2,3 g
|
Lemak
|
0 g
|
Protein
|
0,4 g
|
Gula
|
11,8 g
|
Vitamin A
|
2 mg
|
Vitamin C
|
15 mg
|
Vitamin B1
|
0,02 mg
|
Vitamin B2
|
0,01 mg
|
Vitamin B6
|
0,05 mg
|
Vitamin E
|
0,5 mg
|
Sumber : Kandungan Gizi Buah Apel, Prasko,
2011
Komponen
fenolik pada apel berupa flavonoid dan asam fenolik. Flavonoid yang ada di
dalam apel adalah flavonol, catechin, dan epicatechin. Contoh
asam fenolik yang ada di dalam apel adalah asam cafeic dan asam
p-coumaric yang membentuk ester dengan asam quinic di dalam apel. Senyawa fenolik lainnya adalah floretin glikosida. Konsentrasi masing-masing senyawa fenolik pada apel bervariasi, bergantung pada bagian-bagian dimana senyawa tersebut ada. Pada kulit apel, senyawa fenolik yang mendominasi adalah quercetin glikosida dan flavonol. Bagian inti dan biji buah apel banyak mengandung floretin glikosida. Bagian korteks buah apel banyak mengandung asam fenolik (Fubar, 2011).
p-coumaric yang membentuk ester dengan asam quinic di dalam apel. Senyawa fenolik lainnya adalah floretin glikosida. Konsentrasi masing-masing senyawa fenolik pada apel bervariasi, bergantung pada bagian-bagian dimana senyawa tersebut ada. Pada kulit apel, senyawa fenolik yang mendominasi adalah quercetin glikosida dan flavonol. Bagian inti dan biji buah apel banyak mengandung floretin glikosida. Bagian korteks buah apel banyak mengandung asam fenolik (Fubar, 2011).
B. Pencoklatan (Browning)
1. Pengertian Browning
Proses
browning adalah proses kecoklatan
pada buah yang terjadi akibat proses enzimatik oleh polifenol oksidase. Pada
umumnya proses browning sering terjadi pada buah–buahan seperti pisang, pear,
salak, pala, dan apel. Peristiwa pencoklatan adalah
peristiwa alamiah yang biasa terjadi pada sistem biologi, suatu proses
perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik dan biokimia
(memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit, atau kondisi yang tidak
normal). Bisa juga merupakan gejala alamiah dari proses penuaan. Secara umum
pencoklatan (browning or blacking)
berdasarkan prosesnya, dapat dikelompokan menjadi dua macam (pengelompokan ini
dapat digunakan pada bidang teknologi pangan dan gizi) (Sahra, 2012).
Reaksi pencoklatan diklasifikasikan
menjadi reaksi pencoklatan enzimatis dan reaksi pencoklatan non-enzimatis.
Kedua reaksi pencoklatan melibatkan pembentukan pigmen yang berwarna coklat
pada makanan. Reaksi pencoklatan ini mempengaruhi flavor, penampakan atau
tekstur, dan nilai gizi produk pangan tersebut (Eriksson, 1981).
1.1
Pencoklatan
Enzimatik
Pencoklatan enzimatik adalah proses
perubahan warna produk yang dipengaruhi oleh substrat, enzim, suhu dan waktu.
Reaksi pencoklatan enzimatis biasa terjadi pada buah-buahan dan sayur-sayuran
yang memiliki senyawa fenolik. Senyawa ini berfungsi sebagai
substrat bagi enzim polifenoloksidase (PPO/1,2-benzenediol/oxygen oxidoreductase; EC 1.10.3.1). Terdapat berbagai macam senyawa fenolik, yaitu katekin dan turunannya (tirosin), asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosianin. Pada jaringan tanaman, enzim PPO dan substrat fenolik dipisahkan oleh struktur sel sehingga tidak terjadi
pencoklatan. Untuk memicu terjadinya reaksi pencoklatan, harus ada reaksi antara enzim PPO, substrat fenolik, serta oksigen. Reaksi pencoklatan megubah struktur kuinol menjadi kuinon (Fubar, 2011).
substrat bagi enzim polifenoloksidase (PPO/1,2-benzenediol/oxygen oxidoreductase; EC 1.10.3.1). Terdapat berbagai macam senyawa fenolik, yaitu katekin dan turunannya (tirosin), asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosianin. Pada jaringan tanaman, enzim PPO dan substrat fenolik dipisahkan oleh struktur sel sehingga tidak terjadi
pencoklatan. Untuk memicu terjadinya reaksi pencoklatan, harus ada reaksi antara enzim PPO, substrat fenolik, serta oksigen. Reaksi pencoklatan megubah struktur kuinol menjadi kuinon (Fubar, 2011).
1.2
Reaksi non
enzimatis
Reaksi pencoklatan non enzimatis
merupakan reaksi yang
terjadi tanpa adanya enzim. Reaksi pencoklatan non enzimatis
menurut Tomy (2008), yaitu:
terjadi tanpa adanya enzim. Reaksi pencoklatan non enzimatis
menurut Tomy (2008), yaitu:
a) Reaksi
Karamelisasi
Karamelisasi merupakan proses
pencoklatan non enzimatis yang disebabkan oleh pemanasan gula yang melampaui
titik leburnya. Misal pada suhu diatas 170˚C
dan dihasilkan lelehan gula berwarna coklat.
b) Reaksi
Maillard
Reaksi Maillard adalah reaksi
pencoklatan non enzimatis yang terjadi
karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin bebas dari asam
amino atau protein. Reaksi ini banyak terjadi pada produk pangan yang banyak
dikonsumsi sehari–hari. Reaksi Maillard
dalam makanan dapat berfungsi untuk menghasilkan flavor dan aroma, dapat
menyebabkan kehilangan ketersediaan asam amino, kehilangan nilai gizi,
pembentukan antinutrisi, pembentukan komponen toksik dan komponen mutagenik.
c) Proses
Pencoklatan akibat vitamin C
Vitamin C merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat
bertindak sebagai perkursor untuk pembentukan warna coklat
non-enzimatis. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam de-hidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan.
non-enzimatis. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam de-hidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan.
C. Penghambatan Pencoklatan
Terdapat beberapa metode untuk mengontrol atau menghambat
pencoklatan enzimatis dalam pangan berdasarkan Anonim (2011), yaitu:
a)
Pengurangan oksigen (O2)
atau penggunaan antioksidan, misalnya vitamin C ataupun senyawa sulfit.
Antioksidan dapat mencegah oksidasi
komponen-komponen fenolat menjadi quinon berwarna gelap.Sulfit dapat menghambat enzim fenolase pada konsentrasi satu ppm secara langsung atau mereduksi hasil oksidasi quinon menjadi bentuk fenolat sebelumnya, sedangkan penggunaan vitamin C dapat mereduksi kembali quinon berwarna hasil oksidasi (o-quinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna. Asam askorbat selanjutnya dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Ketika vitamin C habis, komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi dan menjadi produk antara yang irreversibel. Jadi produk berwarna hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi.
komponen-komponen fenolat menjadi quinon berwarna gelap.Sulfit dapat menghambat enzim fenolase pada konsentrasi satu ppm secara langsung atau mereduksi hasil oksidasi quinon menjadi bentuk fenolat sebelumnya, sedangkan penggunaan vitamin C dapat mereduksi kembali quinon berwarna hasil oksidasi (o-quinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna. Asam askorbat selanjutnya dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Ketika vitamin C habis, komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi dan menjadi produk antara yang irreversibel. Jadi produk berwarna hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi.
b)
Mengkontrol reaksi browning
enzimatis dengan menambahkan enzimmo metal transferase sebagai penginduksi.
c)
Pemanasan untuk menginaktivasi
enzim-enzim. Enzim umumnya bereaksi optimum pada suhu 30-40ºC. Pada suhu 45ºC
enzim mulai terdenaturasi dan pada suhu 60ºC mengalami dekomposisi.
d)
Pengkondisian keasaman, misalnya
dengan penambahan asam sitrat. Pada pH 1 dibawah 5, enzim-enzim fenolase
dihambat aktivitasnya. Penambahan
asam-asam organik dapat menghambat browning enzimatik terutama disebabkan efek
turunnya pH akibat penambahan senyawa tersebut. Enzim fenolase dan polifenolase
mempunyai pH optimum pada pH 5 - 7, dibawah kisaran pH tersebut aktifitas enzim
terhambat. Asam-asam organik yang dapat ditambahkan adalah asam askorbat, asam
malat, asam sitrat dan asam erithorbat. Disamping menurunkan pH penambahan asam
sitrat yang bersifat pereduksi kuat sehingga berfungsi sebagai antioksidan.
Dengan penambahan asam sitrat,maka oksigen yang merupakan pemacu reaksi browning
enzimatis dapat dieliminasi. Penambahan asam sitrat disamping dapat menurunkan
pH juga dapat mengikat tembaga yang merupakan sisi aktif enzim sehingga
aktifitas enzim dapat dihambat.
e)
Penambahan Sulfit. Larutan sulfit
bertujuan untuk mencegah terjadinya browning secara enzimatis maupun non
enzimatis, selain itu juga sulfit berperan sebagai pengawet. Pada browning non
enzimatis, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil yang mungkin ada
pada bahan. Hasil reaksi tersebut akan mengikat melanoidin sehingga mencegah
timbulnya warna coklat. Sedangkan pada browning enzimatis, sulfit akan
mereduksi ikatan disulfida pada enzim, sehingga enzim tidak dapat mengkatalis
oksidasi senyawa fenolik penyebab browning. Sulfit merupakan racun bagi enzim,
dengan menghambat kerja enzim esensial. Sulfit akan mereduksi ikatan disulfida
enzim mikroorganisme, sehingga aktivitas enzim tersebut akan terhambat. Dengan
terhambatnya aktivitas enzim, maka mikroorganisme tidak dapat melakukan
metabolisme dan akhirnya akan mati. Sulfit akan lebih efektif dalam bentuk yang
bebas atau tidak terdisosiasi, sehingga sebelum digunakan sulfit dipanaskan
terlebih dahulu. Selain itu, sulfit yang tidak terdisosiasi akan lebih terbentuk
pada pH rendah (2,5–4), dan pada pembuatan manisan bengkoang ini, pH rendah
atau suasana asam diperoleh dari penambahan asam sitrat.
D. Natrium Metabisulfit
Pemakaian natrium
metabisulfit dan dinatrium hidrogen fosfat dalam pengolahan bahan pangan untuk
mencegah proses pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan
rasa getir terutama pada ubi kayu serta untuk mempertahankan warna agar tetap
menarik (Adwin, 2011).
E. Pengaruh Suhu Simpan
terhadap Buah
Penyimpanan pada suhu rendah (dingin) yang dipertahankan
konstan dapat memperpanjang mutu fisik (warna dan penampilan / kesegaran,
tekstur dan cita rasa) dan nilai gizi terutama kandungan Vitamin C buah impor.
Penyimpanan pada suhu dingin, namun sesekali difluktuasikan atau diekspose pada
suhu ruang menyebabkan penurunan mutu fisik / organoleptik dan nilai gizi yang
lebih cepat dibandingkan suhu stabil. Penyimpanan pada
suhu
ruang (dibiarkan sesuai dengan suhu
lingkungan) menyebabkan penurunan mutu fisik- organoleptik dan mutu nilai gizi
sangat cepat yang diikuti dengan proses pembusukan atau kerusakan (Tawali dkk,
2013)
F. Vitamin C
Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang
diperlukan oleh tubuh dan berfungsi untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh.
Bila dalam tubuh kebutuhan vitamin dan mineral mencukupi, maka segala jenis
penyakit dapat dicegah. Mengkonsumsi vitamin C yang juga berfungsi sebagai
antioksidan terbukti dapat menangkal virus-virus (Anonim, 2011).
Sebagai
vitamin yang larut dalam air, vitamin C memiliki banyak peranan penting dalam
menangkal berbagai penyakit. Vitamin C atau biasa dikenal dengan asam askorbat
ini mempunyai tugas penting dalam pembentukan kolagen yang membantu
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu penyerapan zat besi. Bahkan,
beberapa penelitian menunjukkan manfaat vitamin C dalam menurunkan kadar
kolesterol dan memproduksi bahan kimia tertentu pada otak. Selain itu,
tingginya kandungan antioksidan pada vitamin C juga dapat menyapu radikal bebas
yang merusak sel-sel dalam tubuh. Vitamin C mudah teroksidasi dan proses
tersebut
dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh katalis tembaga dan besi. vitamin C adalah vitamin yang paling tidak stabil
dari semua vitamin dan mudah rusak selama pemrosesan dan
penyimpanan (Anonim, 2012).
dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh katalis tembaga dan besi. vitamin C adalah vitamin yang paling tidak stabil
dari semua vitamin dan mudah rusak selama pemrosesan dan
penyimpanan (Anonim, 2012).
G. Total Asam
Total keasaman merupakan jumlah ion hidrogen (baik bebas
maupun dalam bentuk asam lemah) yang bisa dilepaskan oleh titrasi sistem itu
dengan suatu basa kuat. Untuk menentukan total asam dari solusi, jumlah kecil dari basis yang kuat ditambahkan sampai pH mencapai nilai yang telah ditentukan (Pudjaatmaka, 2002).
dengan suatu basa kuat. Untuk menentukan total asam dari solusi, jumlah kecil dari basis yang kuat ditambahkan sampai pH mencapai nilai yang telah ditentukan (Pudjaatmaka, 2002).
Dasar tersebut akan ditambahkan dalam bentuk larutan encer
konsentrasi diketahui. Proses ini dikenal sebagai asam-basa titrasi.
Kadang-kadang netralisasi istilah digunakan tetapi titik ekivalen belum tentu pH 7. Titik ekivalen didefinisikan sebagai pH di mana jumlah basa ditambahkan adalah sama dengan jumlah proton-menyumbangkan
molekul (Bel, 1941).
Kadang-kadang netralisasi istilah digunakan tetapi titik ekivalen belum tentu pH 7. Titik ekivalen didefinisikan sebagai pH di mana jumlah basa ditambahkan adalah sama dengan jumlah proton-menyumbangkan
molekul (Bel, 1941).
Penurunan total
asam selama penyimpanan disebabkan oleh adanya pemakaian asam-asam organik pada
proses respirasi. Proses respirasi yang berlangsung pada buah pasca panen akan
menimbulkan transformasi asam piruvat dan asam-asam, organik lainnya secara
aerobik menjadi CO2, H2O dan energi. Perbedaan suhu pada
setiap perlakuan selama masa penyimpanan menyebabkan kecepatan reaksi
berbeda-beda. Suhu
rendah pada penyimpanan stabil dan fluktuasi mampu menekan terjadinya
reaksi (Anonim, 2004).
rendah pada penyimpanan stabil dan fluktuasi mampu menekan terjadinya
reaksi (Anonim, 2004).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum pencoklatan pada buah beku dilaksanakan pada
hari
Selasa, 10 September 2013 pukul 09.50 – 14.00 WITA dan hari Jumat tanggal 13 September 2013 pukul 12.00 – 13.30 WITA. Tempat pelaksanaaan praktikum ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Selasa, 10 September 2013 pukul 09.50 – 14.00 WITA dan hari Jumat tanggal 13 September 2013 pukul 12.00 – 13.30 WITA. Tempat pelaksanaaan praktikum ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
- erlenmeyer - gelas ukur - hot plate
- gelas
kimia - pipet volume - handrefraktometer
- labu takar - timbangan analitik - magneticstirer
- pisau - batang pengaduk
- biuret dan
statif - thermometer
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini
adalah :
- apel -
0,2% Kalium dihidrogen posfat,
- larutan
garam 3% - kertas
label.
- aquades - 0,2%
dinatrium hydrogen posfat,
- indikator
pati - 0,3%
Natrium Metabisulfit,
- iod 0,1 N -
plastik kelim,
- indikator
pp - NaOH
0,1 N
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini
adalah
sebagai berikut :
sebagai berikut :
Ø Preparasi
1. Buah dikupas dan dibuang bagian tengahnya kemudian
dipotong dadu dan direndam kedalam 3% larutan garam selama 5 menit.
2. Buah diberi perlakuan berbeda.
3. Sampel pada masing-masing perlakuan dibagi menjadi dua
bagian.
4. Bagian pertama dilakukan analisa kandungan, vitamin C,
total asam, totak padatan terlarut (TPT), serta uji organoleptik meliputi
warna, aroma, dan tekstur.
5. Bagian kedua dimasukkan kedalam kantong plastic kelim
dan berikan label sesuai dengan perlakuan. Kemudian disimpan pada refrigerator.
6. Dilakukan penyimpanan selama 3 hari kemudian dilakukan
pengamatan seperti pada bagian pertama.
Ø
Titrasi
Vitamin C
1. Bahan dihancurkan dan diambil sebanyak 5 gram,
kemudian diencerkan dalam labu takar hingga 100 ml lalu dituang ke dalam gelas
ukur.
2. Di pipet sebanyak 25 ml ke dalam Erlenmeyer.
3. Ditetesi dengan indikator pati sebanyak 3 tetes.
4. Dititrasi dengan iod 0,1 N
hingga berubah warna menjadi warna biru.
5. Dihitung
persentasi vitamin C dengan rumus :
% Vit C = × 100 % Di mana FP = 4
Ø Total Asam
1.
Bahan
dihancurkan dan diambil sebanyak 5 gram, kemudian diencerkan dalam labu takar
hingga 100 ml lalu dituang ke dalam gelas ukur.
2.
Di pipet
sebanyak 25 ml ke dalam Erlenmeyer.
3.
Ditetesi
dengan indikator pp sebanyak 3 tetes.
4.
Dititrasi
dengan NaOH 0,1 N hingga terbentuk warna merah muda.
5.
Dihitung
persentase vitamin C dengan rumus :
% total asam
=
Dimana FP = 4, N NaOH = 0.1, dan Grek = 64.
Perlakuan praktikum pada
raktikum kali ini adalah sebagai berikut :
A0
= kontrol ( tanpa perlakuan)
A1 =
potongan sampel dimasukkan ke dalam air panas pada suhu
77oC selama 10
detik, kemudian didinginkan ke dalam air dingin.
A2= dicelup
dalam larutan 0,3% Potasium metabisulfit
selama 3 menit
dan
keringkan.
A3= dicelup
dalam larutan 0,2% dipotasium hydrogen posphat
selama
3 menit.
A4= dicelup
dalam larutan 0,3% potasium metabisulfit selama 3 menit dan
keringkan
setelah itu dicelup dalam larutan 0,2% dipotasium hydrogen posphat selama 3
menit.
A5= diblancing
selama 5 menit dan didinginkan dengan air dingin.
E. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan pada
praktikum kali ini adalah sebagai berikut :
·
vitamin c
·
total asam
·
total
padatan terlarut
·
warna,
aroma, dan tekstur
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil yang dapat diperoleh dari
praktikum pencoklatan (browning) buah beku adalah sebagai berikut :
Tabel
02. Uji Organoleptik Pada Buah Beku Dengan Berbagai Perlakuan, Baik Sebelum Dan Sesudah Penyimpanan Selama 3
Hari.
Perlakuan
|
Warna
|
Tekstur
|
Aroma
|
|||
Sblm
|
Sesdh
|
sblm
|
sesdh
|
sblm
|
Sesdh
|
|
A0
A1
A2
A3
A4
A5
|
Kuning Pucat
Kuning Pucat
Kuning Pucat
Kuning Pucat
Kuning Pucat
Kuning
|
Kuning puct
Kuning coklt
Putih tulang
Kuning coklt
Kuning coklt
Kuning coklt
|
Keras
Keras
Keras
Keras
Keras
Lunak
|
Keras
Lunak
Keras
Keras
Keras
Lunak
|
+
_
_
_
_
_
|
-
×
_
×
_
×
|
Sumber :
Data Primer Praktikum Aplikasi Perubahan Kimia Pangan, 2013
Ket : (+) = Khas Apel
(
- ) = Khas Apel Berkurang
(
× ) = Tidak Ada Aroma Khas Apel
Gambar 01. Presentasi
Vitamin C dan Total Asam
Gambar 02. Presentasi Vitamin C dan Total Asam setelah Penyipanan
B. Pembahasan
Sampel yang sudah dikupas dan dipotong dadu direndam di
air garam dan diberi 5 perlakuan. Pertama (A0), kontrol. Kedua (A1), dimasukkan
ke air dengan suhu 77 derajat celcius selama 10 detik. Ketiga (A2), dilcelup
dalam larutan 0,3% Natrium metabisulfit selama 3 menit. Keempat (A3), dilcelup
dalam larutan 0,2% dinatrium hydrogen posphat selama 3 menit. Kelima (A4), dilcelup dalam larutan 0,3%
natrium metabisulfit selama 3 menit lalu dilcelup dalam larutan 0,2% dinatrium
hydrogen posphat selama 3 menit. Keenam (A5), diblanching 5 menit lalu direndam
ke dalam air dingin.
Sampel yang langsung
dianalisis tanpa penyimpanan yang belum diberi perlakuan (kontrol) berwarna
kuning pucat setelah dilakukan penyimpanan tidak ada perubahan warna. Sampel
yang diberi perlakuan dengan cara direndam dalam air dengan suhu 77 derajat
celcius, sampel yang langsung dianalisis berwarna kuning pucat seperti warna
buah apel pada umumnya sedangkan yang telah dilakukan penyimpanan warna buah
apel berubah menjadi kuning kecoklatan. Sampel yang diberi perlakuan dengan
cara dilcelup dalam larutan 0,3% natrium metabisulfit selama tiga menit, sampel
yang langsung dianalisis berwarna kuning pucat seperti warna buah apel pada
umumnya sedangkan yang telah dilakukan penyimpanan warna buah apel berubah
menjadi putih tulang. Sampel yang diberi perlakuan dengan cara dilcelup dalam
larutan 0,2% dinatrium hydrogen posphat selama 3 menit, sampel yang langsung
dianalisis berwarna kuning pucat seperti warna buah apel pada umumnya sedangkan
yang telah dilakukan penyimpanan warna buah apel berubah menjadi kuning
kecoklatan. Sampel yang diberi perlakuan dengan cara dilcelup dalam larutan
0,2% dinatrium hydrogen posphat selama 3 menit, sampel yang langsung dianalisis
berwarna kuning pucat seperti warna buah apel pada umumnya sedangkan yang telah
dilakukan penyimpanan warna buah apel berubah menjadi kuning kecoklatan. Dapat
dilihat bahwa perlakuan A2 tidak mengalami browning karena mendapat penambahan
sulfit. Hal ini sesuai dengan Anonim (2011) bahwa larutan
sulfit bertujuan untuk mencegah terjadinya browning secara enzimatis maupun non
enzimatis, selain itu juga sulfit berperan sebagai pengawet. Pada browning non
enzimatis, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil yang mungkin ada
pada bahan.
Tekstur buah apel pada
perlakuan pertama A0 yang langsung dianalisis memiliki tekstur keras, setelah
dilakukan penyimpanan tekstur apel masih keras. Tekstur buah apel pada
perlakuan kedua A1 yang langsung dianalisis bertekstur keras, sedangkan yang
melalui penyimpanan bertesktur lunak. Tekstur sampel yang dideri perlakuan A2
langsung dianalisis bertekstur keras, sama dengan sampel yang telah melalui
penyimpanan juga memiliki tekstur keras. Tekstur sampel yang diberi perlakuan
A3 yang langsung dianalisis bertekstur keras, sama dengan sampel yang telah
melalui penyimpanan juga memiliki tekstur keras. Tekstur sampel yang diberi perlakuan
A4 yang langsung dianalisis bertekstur keras, sama dengan sampel yang telah
melalui penyimpanan juga memiliki tekstur keras. Sedangkan tekstur sampel yang
diberi perlakuan A5 yang langsung dianalisis bertekstur lunak, sama dengan
sampel yang telah melalui penyimpanan juga memiliki tekstur lunak. Dapat
dilihat bahwa sampel yang diberi perlakuan A2 tetap memilikii tekstur keras
setelah dilakukan penyimpanan karena sampel disimpan dalam suhu rendah
yang suhunya sesuai dengan suhu yang dibutuhkan sampel sehingga tekstur apel
akan tetap. Suhu yang sangat rendah dapat menyebabkan sampel rusak atau
mengerut. Hal ini sesuai Tawali
dkk (2013) bahwa penyimpanan pada suhu rendah (dingin) yang dipertahankan konstan dapat memperpanjang mutu fisik (warna dan penampilan / kesegaran, tekstur dan cita rasa) dan nilai gizi terutama kandungan Vitamin C buah.
dkk (2013) bahwa penyimpanan pada suhu rendah (dingin) yang dipertahankan konstan dapat memperpanjang mutu fisik (warna dan penampilan / kesegaran, tekstur dan cita rasa) dan nilai gizi terutama kandungan Vitamin C buah.
Aroma khas apel yang
diberi perlakuan kontrol berkurang setelah penyimpanan dibandingkan tanpa
penyimpanan yang aroma apelnya masih khas. Aroma apel yang diberi perlakuan A1
langsung dianalisis menyebabkan aroma khas apel berkurang sedangkan apel yang
telah melalui proses penyimpanan sudah tidak memiliki aroma khas apel. Aroma
apel yang diberi perlakuan A2 langsung dianalisis menyebabkan aroma khas apel
berkurang begitupun dengan sampel yang melalui penyimpanan aroma khas apel
berkurang. Aroma apel yang diberi perlakuan A3 langsung dianalisis menyebabkan
aroma khas apel berkurang sedangkan sampel yang telah melalui penyimpanan sudah
tidak memiliki aroma khas apel. Aroma apel yang diberi perlakuan A4 langsung
dianalisis menyebabkan aroma khas apel berkurang begitupun dengan sampel yang
melalui penyimpanan aroma khas apel berkurang. Sedangkan aroma apel yang diberi
perlakuan A5 langsung dianalisis yang menyebabkan aroma khas apel sedangkan
yang telah disimpan sudah tidak memiliki aroma khas apel. Sampel
yang diberikan perlakuan A2 sebelum penyimpanan aroma khas apel berkurang dan
sedikit ada aroma sulfit. Setelah penyimpanan aroma apel sama sebelum
penyimpanan namun aroma dari sulfit hilang. Hal ini sesuai
Anonim (2011), bahwa sulfit akan lebih efektif jika dilakukan pada
suhu tinggi sehingga pada penyimpanan dalan kulkas sulfit kurang efektif.
Anonim (2011), bahwa sulfit akan lebih efektif jika dilakukan pada
suhu tinggi sehingga pada penyimpanan dalan kulkas sulfit kurang efektif.
Sampel yang langsung dianalisis tanpa
penyimpanan didapatkan hasil perhitungan vitamin C dalam buah apel untuk
perlakuan kontrol adalah 0,0352% dan setelah penyimpanan vitamin C menjadi
0,04693%. Dan untuk buah apel yang diberi perlakuan direndam di air dengan suhu
77 derajat celcius sebesar 0.04928% setelah penyimpanan vitamin C menjadi
0,0586. Dan untuk buah apel yang diberi perlakuan dicelup dengan 0,3% natrium
metabisulfit adalah 0,176% sedangkan setelah penyimpanan menjadi 0,117%. Dan
untuk buah apel yang diberi perlakuan dilcelup dalam larutan 0,2% dinatrium
hydrogen posphat selama 3 menit adalah 0,352% vitamin C sedangkan setelah
penyimpanan menjadi 0,00768%. Dan untuk buah apel yang diberi perlakuan dicelup
dalam larutan 0,3% Natrium metabisulfit selama 3 menit lalu dilcelup dalam
larutan 0,2% dinatrium hydrogen posphat selama 3 menit adalah 0,034% vitamin C
sedangkan setelah penyimpanan vitamin C menjadi 0,0704%. Dan untuk buah apel
yang diberi perlakuan diblanching lalu direndam dalam air dingin adalah 0,085%
vitamin C sedangkan setelah penyimpanan menjadi 0,082% vitamin C. Dari hasil
perhitungan dapat dilihat total vitamin C menurun ketika dilakukan penyimpanan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vitamin C mengalami penurunan setelah
dilakukan penyimpanan. Hal ini sesuai dengan Anonim (2012) karena vitamin C
adalah salah satu vitamin yang paling tidak stabil setelah dilakukan pemrosesan
dan penyimpanan.
dan penyimpanan.
Total asam pada buah apel yang
langsung dianalisis tanpa penyimpanan adalah 0,4096% setelah penyimpanan
menjadi 0,034133%. Dan untuk buah apel yang diberi perlakuan dengan cara
direndam dalam air dengan suhu 77 derajat celcius adalah 0,00256% sedangkan
setelah penyimpanan menjadi 0,3413%. Dan untuk buah apel yang diberi perlakuan
dicelup dengan 0,3% natrium metabisulfit adalah 0,0056% sedangkan setelah
penyimpanan menjadi 0,68%. Selanjutnya untuk buah apel yang diberi perlakuan
dicelup 0,2% dinatrium hydrogen posphat adalah 0,2048% sedangkan setelah
penyimpanan menjadi 0,07168%. Selanjutnya untuk buah apel yang diberi perlakuan
dicelup dengan 0,3% natrium metabisulfit lalu dicelup 0,2% dinatrium hydrogen
posphat adalah 0,15% sedangkan setelah penyimpanan menjadi 0,34%. Dan untuk
buah apel yang diberi perlakuan diblanching lalu direndam ke air dingin adalah
0,204% sedangkan setelah penyimpanan menjadi 0,43% total asam. Sampel yang
diberi perlakuan A2 setelah dilakukan penyimpanan total asamnya naik karena
proses penyimpanan. Namun seharusnya total asamnya akan turun setelah
penyimpanan. Hal ini sesuai dengan
Anonim (2004) bahwa penurunan total asam selama penyimpanan disebabkan oleh adanya pemakaian asam-asam organik pada proses respirasi. Proses respirasi yang berlangsung pada buah pasca panen akan menimbulkan transformasi asam piruvat dan asam-asam, organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, H2O dan energi. Perbedaan suhu pada setiap perlakuan selama masa penyimpanan menyebabkan kecepatan reaksi berbeda-beda. Suhu rendah pada penyimpanan stabil dan fluktuasi mampu menekan terjadinya reaksi. Selain itu, dikarenakan kesalahan pada proses titrasi.
Anonim (2004) bahwa penurunan total asam selama penyimpanan disebabkan oleh adanya pemakaian asam-asam organik pada proses respirasi. Proses respirasi yang berlangsung pada buah pasca panen akan menimbulkan transformasi asam piruvat dan asam-asam, organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, H2O dan energi. Perbedaan suhu pada setiap perlakuan selama masa penyimpanan menyebabkan kecepatan reaksi berbeda-beda. Suhu rendah pada penyimpanan stabil dan fluktuasi mampu menekan terjadinya reaksi. Selain itu, dikarenakan kesalahan pada proses titrasi.
V.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelahmelakukanpercobaan,
maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa
:
1.
Proses
browning dapat mempengaruhi mutu bahan pangan dengan menurunnya kualitas bahan
pangan seperti perubahan warna, aroma, tekstur, total asam, dan total vitamin C
serta perubahan total padatan terlarutnya.
2.
Proses
browning dapat dicegah dengan menggunakan beberapa metode penghambatan
pencoklatan pada buah beku.
B.
Saran
Saran untuk
praktikum pencoklatan pada buah beku yaitu sebaiknya alat-alat yang digunakan
itu cukup untuk masing-masing kelompok agar pada saat pengujian semua kelompok
bekerja dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adwin,
2011. Pengawetan Bahan Pangan.
http:Adwin.blogspot.com /pendinginan. Diakses pada 20 September 2013.
Makassar.
Anonim,
2004.Pengawetan Buah Segar Etilen. http://www.aagos. ristek.go.id /pangan_kesehatan/pangan/ipb/
Pengawetan %20buah %20segar.pdf. Diakses pada tanggal 05 September 2013, Makassar.
Anonim, 2011. Kandungan Vitamin C Buah. http://kumpulan.info/sehat/
artikel-kesehatan/48-artikel-kesehatan/80-kandungan-vitamin-cbuah.html. Diakses pada tanggal 05 September
2013, Makassar.
Anonim, 2012. Mengungkap Manfaat VitaminC. http://health.kompas.com/
read/2012/01/20/13581378/Mengungkap. Manfaat. Vitamin.C. Diakses pada tanggal 05 September 2013, Makassar.
read/2012/01/20/13581378/Mengungkap. Manfaat. Vitamin.C. Diakses pada tanggal 05 September 2013, Makassar.
Bell, RP 1941. Asam-basa
katalisis.
Oxford: Clarendon Press.
Eriksson, C. 1981. Maillard
reaction in food: Chemical, Physiological,and Technological Aspects.
Pergamon press, Oxford.
Fubar.
2011. BROWNING, BLANCHING DAN
PASTEURISASI. http://fubar-fuckedupbeyondallrecognition.blogspot.com/2011/04/browning-blanching-dan-pasteurisasi.html. Diakses pada tanggal 05 September
2013, Makassar.
Henie. 2013. Pencoklatan Pada Apel. http://webcache.googleusercontent.
com/search?q=cache:plkEXJ8Lld4J:sikluskimia.blogspot.com/2013/03/pencoklatanpadaapel.html+pencoklatan+pada+Apel&cd=1&hl=en&ct=clnk&client=firefox-a. Diakses pada hari Sabtu, 25 September 2013. Makassar.
com/search?q=cache:plkEXJ8Lld4J:sikluskimia.blogspot.com/2013/03/pencoklatanpadaapel.html+pencoklatan+pada+Apel&cd=1&hl=en&ct=clnk&client=firefox-a. Diakses pada hari Sabtu, 25 September 2013. Makassar.
Kurtanto, Tomy. 2008. Reaksi Miallard pada Produk Pangan. IPB
: Bogor.
Nofita Sari, Intan (2012). Tugas PBAI
“Denaturasi, Koagulasi, Browning non Enzimatik”. http://blog.ub.ac.id/vitaintan/. Diakses pada tanggal 05 September
2013, Makassar.
Prasko. 2011. Kandungan Gizi Buah Apel. http://www.prasko.com/2011/08/
kandungan-gizi-buah-apel.html. Diakses pada tanggal 05 September 2013, Makassar.
kandungan-gizi-buah-apel.html. Diakses pada tanggal 05 September 2013, Makassar.
Pudjaatmaka,
A. Hadyana.2002. Kamus kimia. Balai
pustaka: Jakarta.
Sahrah, Rinanty. 2012. Pencoklatan Pada Buah Beku (Browning). http://rinartysahrah.wordpress.com/2012/11/12/3/. Diakses pada hari Sabtu, 25 September
2013. Makassar.
Tawali, Abu Bakar,dkk, 2013. Pengaruh Suhu Simpan terhadap Buah. http://id.scribd.com/doc/105074932/Pengaruh-Suhu-Simpan-Pada-Buahan-2. Diakses pada 11 Oktober 2013, Makassar.
No comments:
Post a Comment